Kamis, 14 Februari 2013

Mengidentifikasi Unsur Intrinsik Cerita Pendek (Cerpen)


ý Pendahuluan Materi

Cerpen merupakan salah satu bentuk karya sastra yang berwujud prosa. Cerpen ada yang bersifat fiktif dan nonfiktif. Cerita yang ditampilkan dalam sebuah cerpen biasanya hanya sepenggal peristiwa yang terjadi pada seseorang dan fokus cerita terletak pada tokoh utama.

Pada umumnya, unsur intrinsik cerpen meliputi hal-hal berikut ini.
1.  Tema adalah sumber gagasan atau ide cerita yang dikembangkan menjadi sebuah karangan.
2.  Alur adalah urutan peristiwa sebab akibat yang menjalin suatu cerita.
3.  Tokoh adalah pelaku-pelaku dalam cerita. Tokoh dibedakan menjadi tiga, yakni protagonist, antagonis, dan tritagonis.
4.  Sudut pandang adalah tempat atau titik dari mana seseorang melihat objek karangan.
5.  Latar adalah waktu dan tempat serta keadaan sosial yang digunakan pengarang dalam menyusun cerita.
6.  Amanat adalah pesan moral yang terdapat dalam cerita.

Selain itu, cerpen mengandung nilai-nilai kehidupan yang dapat diambil dari peran masing-masing tokoh dalam isi cerpen tersebut. Ada pun nilai-nilai tersebut antara lain:
1.  Nilai moral yaitu nilai yang berjkenaan dengan Tuhan dan agama
2.  Nilai kemanusiaan yaitu nilai yang berkenaan dengan masyarakat
3.  Nilai etika yaitu nilai yang berkenaan dengan budi bahasa, sopan santun.
4.  Nilai estitika yaitu nilai yang berkenaan dengan seni dan keindahan.



ý Menganalisis Unsur-unsur Cerpen

ë  Sinopsis Cerpen

Pagi-pagi sekali, Zul sudah terbangun dari tidur nyenyaknya. Dengan cekatan ia memasak air di teko, menanak nasi, dan memanaskan sayur lodeh sisa semalam, lalu dia mengerjakan sholat Subuh. Dzikirnya terhenti ketika dia mendengar bunyi “nyiiit” yang menandakan air sudah mendidih. Dengan sigap ia mematian kompor dan dituangkannya air dalam teko itu ke teko plastik yang sudah berisi bubuk teh. Ia tunggu sekitar lima menit sebelum menuangkannya ke dalam tiga buah gelas belimbing.
Kesibukannya terhenti ketika Zul merasa telinganya mendengar sesuatu. Ia menajamkan telinganya, berusaha memperjelas suara itu. Akhirnya dia paham suara yang dia dengar barusan. Ia menghela nafas dan merasa kecewa terhadap bapaknya.
Ibu Zul sedang di rumah neneknya karena sudah tidak tahan setiap hari disiksa Bagio, panggilan akrab bapak Zul. Bapak Zul memang keterlaluan. Lebih keterlaluan lagi dia sering membawa perempuan lain ke kamarnya. Anak muda itu jadi sangat membenci bapaknya. Sebagai orang yang lebih tua, tidak pernah memberikan panutan yang baik. Kali ini terdengar cekikikan dari kamar bapaknya.
Ia segera pergi dan masuk ke kamar Asih, adiknya. Dia bangunkan adiknya yang masih tertidur pulas itu dengan menggoyang-goyangkan kaki adiknya. Segera dia perintahkan adiknya untuk mengambil wudhu dan sholat Subuh. Kemudian, segera dia berikan beberapa lembar uang kepada Asih untuk bayar sekolah. Sudah seminggu Asih dilarang bersekolah karena belum membayar uang SPP selama 3 bulan. Zul tentu tak ingin nasib adiknya sama seperti dia yang putus sekolah.
Sekilas Zul yang sedang sarapan dengan adiknya berharap-harap cemas, jangan sampai suara-suara ‘surga dunia’ itu terdengar oleh adiknya yang masih kecil. Tepat saat Asih pergi pintu kamar bapak terbuka. Bapak keluar dengan memakai celana pendek dan rambut yang masih awut-awutan. Disuruhnya Zul mengambilkannya rokok dan dinyalakannya sebatang rokok itu. Baru saja Zul hendak melirik ke kamar bapaknya, muncullah sosok yang ditunggu-tunggunya.
Seorang wanita muda, berparas manis, keluar dari kamar bapaknya dengan baju tidur yang acak-acakan. Astaghfirullah Hal Adzim, batin Zul berbisik. Zul langsung membereskan piring bekas makan Asih dan segera pergi ke dapur.
Tiba-tiba bapaknya memanggilnya. Zul segera menghampiri bapaknya. Bapaknya hanya mengeluh atas makanan yang ada, tidak menyadari apa yang telah dia lakukan. Zul coba membantah, namun sebuah tamparan mendarat di pipinya.
Sebelum pergi, ia berteriak di depan kamar bapaknya bahwa ia tidak ingin wanita itu ada saat Asih sudah pulang. Zul bekerja kepada Pak Atmo sebagai kernet angkot, kadang-kadang ia juga menjadi sopir. Selain itu, Zul juga membantu Abah Liem mengantarkan beras di pasar.
Sebenarnya Pak Atmo merasa kasihan pada Zul. Pak Atmo menngompres pipi Zul. Setelah agak baikan, Zul mulai bekerja.  Zul adalah anak yang sangat baik. Pak Atmo berharap punya anak sebaik Zul.
----
Muslih yang sedang bekerja jadi tukang parkir berteriak pada Zul bahwa rumah Zul kebanjiran. Muslih segera menghampiri angkot Zul yang berhenti di dekat mini market dan menitipkan salam untuk adiknya yang bekerja di bengkel dan memberi tahu bahwa ia tidak bisa pulang.
Zul teringat ibunya yang sakit dan Asih yang masih di sekolah. Untung di angkot Cuma tinggal dua penumpang. Ia segera mengantarkan penumpangnya dan bergegas pulang. Zul terpaksa meninggalkan angkotnya di pinggir jalan karena macet. Banjir sudah setinggi betisnya. Zul bertanya kepada para tetangga, namun mereka sibuk menyelamatkan diri dan harta benda mereka.
Zul semakin panik, ia berjuang melewati kayu-kayu yang hanyut berserakan  di jalan setapak menuju rumahnya. Darah mulai mengalir dari tubuhnya. Pintu rumah sudah jebol terhantam air. Ibu menggigil kedinginan di atas meja makan dengan pakaian yang sudah basah. Ia segera membopong ibunya tanpa memperdulikan barang-barang yang lain.
Sesampainya di pengungsian, Zul membaringkan tubuh ibunya di atas sebuah tikar. Untunglah ada Yu Narsih yang memberikan kaos kering dan selimut untuk ibu. Tetangga-tetangga Zul mulai mengeluh dan mengolok-olok pemerintah, tapi Zul tetap tak mendengarkan. Ia bergegas ke sekolah untuk menjemput Asih. Untunglah Asih sudah pulang bersama Pak Paijo, penjaga sekolah sekaligus tetangga Zul.
Hari sudah sore, bantuan belum juga datang. Keadaan pengungsi semakin memprihatinkan. Bantuan datang, Zul langsung berlari menuju mobil box yang mengirimkan bantuan. Tapi hanya ada mi instan dan beras. Tak ada alat untuk memasak. Tiba-tiba datang lagi sebuah mobil box, kali ini berisi nasi bungkus. Mi instan yang ada di tangannya langsung dilempar untuk mendapatkan 3 buah nasi bungkus dan air mineral di tengah kerumunan warga yang juga berusaha mendapatkan bantuan.
Sesegera mungkin Zul kembali ke Asih dan ibunya. Tiba-tiba terdengar teriakan dari Asih. Rupanya, Bapak telah datang. Ia masih menagih uang yang diberikan Zul kepada ibu. Zul marah sekali melihatnya. Ditariknya baju bapaknya. Saat Zul melihat mata bapaknya, ia tahu bahwa bapak mabuk. Bapak tidak peduli pada Zul dan tetap menagih uang pada ibu. Zul membentak bapaknya dengan keras tapi sebuah pukulan melayang ke pipi kirinya.
Perasaan Zul betul-betul kacau karena panik. Ia tak bisa berfikir dengan jernih. Ketika matanya memandang sebuah batu yang cukup besar di samping nisan diambilnya batu itu dan dipukulkan berkali-kali ke punggung bapaknya. Yang ada dalam pikirannya hanya satu, yaitu menyelamatkan ibunya. Bapak terkapar berlumuran darah. Hujan kembali mengguyur. Menghanyutkan sebagian darah bapak dan air mata Zul.
----
Dengan dikawal dua orang polisi, Pak Atmo dan Zul berjalan melewati lorong rumah sakit menuju ruang ICU. Zul melihat ibu dan Asih duduk di ruang tunggu ICU. Zul segera menghampiri ibunya dan berlutut di hadapannya. Syukurlah, Bapak Zul masih hidup dan dokter menawarkan kepada Zul untuk menengok bapaknya. Bapak terbaring telungkup karena luka di punggungnya belum kering. Zul hanya bisa memandangi bapaknya tanpa berkata apapun. Kemudian digenggamnya tangan bapaknya.
Tiba-tiba dirasakannya sedikit gerakan pada tangan bapak. Zul memanggil-manggil bapaknya. Tak disangka, mata bapak terbuka perlahan-lahan. Dokter Harjo masih merasa terkejut bapak bisa sadar dari komanya dan sanggup berbicara. Bapak memandangi Zul dengan tenang dan tanpa ada rasa dendam di wajah bapak. Baru kali ini dia melihat wajah bapak yang tenang tanpa emosi. Mata bapak kembali terpejam setelah memberikan seulas senyuman pada Zul.
Zul menangis tersedu-sedu. Tubuhnya lemas, sampai-sampai dia harus dipapah dokter Harjo untuk keluar dari ruang ICU. Zul terduduk lemas di kursi. Zul tak menyangka ia telah membunuh bapaknya sendiri. Polisi kembali memborgol tangannya. Zul hanya bisa pasrah. Tapi ia yakin, bapaknya sudah memaafkannya.
Dengan langkah lunglai, Zulkifli atau biasa dipanggil Zul meninggalkan rumah sakit dengan dikawal dua polisi. Menuju jeruji besi yang telah menantinya. Tak henti-hentinya Zul berdo’a agar Allah mau mengampuninya dan menerima taubatnya.

ë  Tema    : Penyesalan
Bukti     : Zu menyesal telah membunuh bapaknya sebdiri sehingga ia harus mempertanggung jawabkan perbuatannya walaupun niatnya baik yaitu melindungi ibunya.

ë  Judul    : Jeruji Penebus Dosa

ë  Penokohan    :
ÿ Zul    : Penyayang, pekerja keras, sabar
Bukti : Penyayang: Sangat menyayangi adik dan ibunya. Bahkan ketika banjir datang, ia langsung menyelamatkan ibunya.
         Pekerja keras: Ia bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga, serta membiayai sekolah adinya tanpa mengeluh
           SabarZul tetap sabar menghadapi bapaknya yang sering menyiksa ibunya.
ÿ Bapak/Bagio        : Kasar, pemalas, egois,
Bukti : Kasar: Bagio menampar dan memukul anaknya sendiri dan menyiksa istrinya.
Pemalas: Tidak mau bekerja, hanya berjudi, menagih uang, dan mau makan enak.
Egois: Tetap menagih uang walaupun dalam keadaan susah pada saat banjir.
ÿ Asih  : Rajin, terima apa adanya
Bukti : Rajin: Rajin bersekolah walaupun dalam keadaan yang pas-pasan. Tidak bermalas-malasan
Terima apa adanya: Bersekolah tanpa mengeluh, maupun ketika makan, tidak mengeluh.
ÿ Pak Atmo   : Peduli, dermawan
Bukti : Peduli: Pak Atmo peduli dengan Zul yang ingin bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Sehingga memberi Zul pekerjaan sebagai sopir angkot.
          Dermawan: Memberi uang pada Zul untuk biaya sekolah Asih.
ÿ Muslih        : Peduli, patuh
Bukti : Peduli: Memberi tahu Zul bahwa rumahnya kebanjiran.
Patuh: Mematuhi aturan dan perintah dari atasan dalam bekerja.
ÿ Ibu    : Lembut, lemah
Bukti : Lembut: Tidak pernah membentak Zul, Asih, maupun Bapak.
          Lemah: Tidak punya kekuatan melawan baak, sehingga selalu disiksa.
ÿ Yu Narsih   : Dermawan
Bukti : Memberi selimut dan pakaian kepada ibu Zul dengan ikhlas.


ë  Latar     :
:    Tempat   :
ÿ    Kamar Zul        à Zul terbangun dari tidur nyenyaknya.
ÿ    Dapur     à Zul memasak air di teko, menanak nasi, dan memanaskan sayur lodeh sisa semalam.
ÿ    Di dekat kamar bapak         à Zul mendengar sesuatu dari kamar bapaknya.
ÿ    Kamar Asih      à Zul segera ke kamar Asih untuk membangunkan Asih.
ÿ    Meja makan      à Zu sedang sarapan bersama adiknya.
ÿ    Di depan kamar bapak        à Sebelum Zul pergi, ia berteriak di depan kamar bapaknya.
ÿ    Di dekat mini market à Muslih menghampiri angkot Zul yang berhenti di dekat mini market
ÿ    Di pinggir jalan à Zul meninggalkan angkotnya di pinggir jalan karena macet.
ÿ    Di atas meja makan    à Ibu menggigil kedinginan di atas meja makan dengan pakaian yang sudah basah.
ÿ    Mobil box         à Zul langsung berlari menuju mobil box yang mengirimkan bantuan.
ÿ    Lorong rumah sakit    à Pak Atmo dan Zul berjalan melewati lorong rumah sakit menuju ruang ICU.
:    Waktu     :
ÿ    Pagi hari  : Pagi-pagi sekali, Zul sudah terbangun dari tidur nyenyaknya.
ÿ    Ketika Zul mendengar sesuatu dari kamar bapaknya à Kesibukan-nya terhenti ketika Zul merasa telinganya mendengar sesuatu dari kamar bapaknya.
ÿ    Saat Asih pergi à Tepat saat Asih pergi pintu kamar bapak terbuka.
ÿ    Sebelum Zul pergi      à Sebelum Zul pergi, ia berteriak di depan kamar bapaknya bahwa ia tidak ingin wanita itu ada saat Asih sudah pulang.
ÿ    Sore hari à Hari sudah sore, bantuan belum juga datang. Keadaan pengungsi semakin memprihatinkan.
:    Suasana  :
ÿ    Penasaran         à Kesibukannya terhenti ketika Zul merasa telinganya mendengar sesuatu. Ia menajamkan telinganya, berusaha memperjelas suara itu.
ÿ    Cemas     à Sekilas Zul yang sedang sarapan dengan adiknya berharap-harap cemas, jangan sampai suara-suara ‘surga dunia’ itu terdengar oleh adiknya yang masih kecil.
ÿ    Tegang    à Bapaknya hanya mengeluh atas makanan yang ada, tidak menyadari apa yang telah dia lakukan. Zul coba membantah, namun sebuah tamparan mendarat di pipinya.
ÿ    Kasihan   à Sebenarnya Pak Atmo merasa kasihan pada Zul.
ÿ    Terkejut  à Muslih yang sedang bekerja jadi tukang parkir berteriak pada Zul bahwa rumah Zul kebanjiran.
ÿ    Khawatir à Zul teringat ibunya yang sakit dan Asih yang masih di sekolah.
ÿ    Panik       à Zul semakin panik, ia berjuang melewati kayu-kayu yang hanyut berserakan  di jalan setapak menuju rumahnya.
ÿ    Lega        à Untunglah Asih sudah pulang bersama Pak Paijo, penjaga sekolah sekaligus tetangga Zul.
ÿ    Takut      à Ditariknya baju bapaknya. Saat Zul melihat mata bapaknya, ia tahu bahwa bapak mabuk. Bapak tidak peduli pada Zul dan tetap menagih uang pada ibu.
ÿ    Bingung dan panik     à Perasaan Zul betul-betul kacau karena panik. Ia tak bisa berfikir dengan jernih. Ketika matanya memandang sebuah batu yang cukup besar di samping nisan diambilnya batu itu dan dipukulkan berkali-kali ke punggung bapaknya.
ÿ    Menyesal à Zul hanya bisa memandangi bapaknya tanpa berkata apapun.

ë  Alur      :
:  Kerangka alur     :
Eksposisi         : Zul adalah anak yang baik. Dia punya adik bernama Asih yang masih sekolah di SD. Namun, bapaknya adalah tukang judi dan tukang main wanita.
Konflik           : Rumah Zul terkena banjir. Ia segera pulang untuk menyelamatkan ibunya dari banjir dan membawanya ke pengungsian.
Klimaks          : Bapak datang ke pengungsian untuk menagih uang kepada ibu.
Peleraian         : Zul mengambil batu dan dipukulkannya ke punggung bapaknya sampai bapaknya terkapar berlumuran darah.
Penyelesaian   : Bapak Zul meninggal tapi beliau sudah memaafkan Zul. Dan Zul harus mempertanggung jawabkan perbuatannya.
:  Alur sebenarnya :
Bukti:
Zul adalah anak yang baik, dia punya adik bernama Asih yang masih sekoah di SD. Namun, bapaknya adalah tukang judi dan tukang main wanita. Sehingga, Zul harus memenuhi kebutuhan keluarganya dengan bekerja keras.
          Ketika sedang bekerja, Zul diberitahu temannya bahwa rumahnya terkena banjit. Ia segera pulang dan menerjang banjir untuk menyelamatkan ibunya yang masih terjebak di dalam rumah. Kemudian Zul membawanya ke pengungsian.
          Bapak datang ke pengungsian untuk menagih uang yang diberikan Zul kepada ibu. Bapak tidak memperdulikan keadaan disekitarnya. Walupun ibu sedang kedinginan, bapak tetap menagih uang dengan kasar kepada ibu.
          Zul tak bisa menahan diri, pikirannya bingung dan panik. Zul mengambil batu dan dipukulkannya ke punggung bapaknya yang sedang menagih uang tersebut hingga punggung bapaknya berlumuran darah.
          Bapak Zul dibawa ke rumah sakit. Saat Zul menjenguk bapaknya, beliau meninggal tapi Zul sudah dimaafkan oleh bapaknya. Akhirnya, Zul harus mempertanggung jawabkan perbuatannya.

ë  Sudut pandang
Orang ketiga pelaku utama
Bukti     : Pengarang menceritakan kehidupan orang lain.

ë  Amanat :
:  Jangan buru-buru dalam mengambil keputusan.
:  Berilah contoh yang baik kepada anak-anak.
:  Tetap tenang dan pikirkanlah baik-baik masalah yang kamu hadapi.

ë  Nilai-nilai kehidupan
:  Nilai moral                   :
Berilah contoh yang baik kepada anak-anak jangan perlihatkan hal yang tidak baik untuk mereka.
:  Nilai pendidikan :
Rajinlah belajar walaupun dalam keadaan susah, pelajarilah apa yang bisa kamu pelajari.
:  Nilai religi           :
Jauhilah hal-hal yang dilaraang oleh Allah swt, karena yang dilarang itu tidak baik untuk kita.

ë  Nilai-nilai kehidupan yang dapat diteladani
:  Berusahalah untuk memenuhi kebutuhanmu dan keluargamu, dan jangan mudah menyerah.
:  Berbagilah kepada orang yang membutuhkan.
:  Berbaktilah kepada kedua orang tua walaupun mereka tidak bisa memberi kita hal-hal yang baik.

ý Membuat Cerpen

ë  Kerangka cerpen
1.      Di suatu desa tinggallah seorang petani dengan 3 anak laki-lakinya.
2.      Petani tersebut merasa umurnya tidak panjang lagi.
3.      Petani tersebut berpesan kepada anaknya.
4.      Si Sulung/Atmo meninggalkan rumah dengan membawa kerbaunya.
5.      Setiap hari Atmo berjudi tapi tidak pernah menang.
6.      Atmo putus asa dan pergi tanpa arah.
7.      Kamto, si anak kedua juga bernasib sama dengan Atmo.
8.      Kamto tak berani pulang karena malu pada adiknya.
9.      Si Bungsu/Toto hanya berdiam diri di rumah.
10. Toto pergi ke sawah dan tiba-tiba dia mengerti maksud pesan ayahnya.
11. Toto mengerti bahwa benda-benda warisan itu memiliki peran yang sangat penting.
12. Toto mulai bekerja mengolah sawahnya.
13. Toto merawat padinya dengan rajin dan sabar.
14. Waktu panen telah tiba.
15. Toto masih tetap berdo’a untuk kedua kaknya danuntuk ayahnya.
16. Toto pergi ke pasar dan bertemu 2 pengemis.
17. Mereka bertiga bertabakan dan terjatuh.
18. Pengemis itu adalah kedua kakaknya.
19. Toto mengajak mereka pulang dan hidup bahagia.

ë  Cerpen

Tiga Saudara dan Warisan

Di suatu desa yang damai, tinggallah seorang petani tua bersama 3 anak laki-lakinya. Mereka adalah Atmo, Si Sulung. Anak kedua bernama Kamto, dan Si Bungsu bernama Toto. Walaupun mereka bersaudara, tapi Si Bungsu lah yang paling disayang oleh ayahnya karena dia memiliki sifat yang paling baik diantara mereka bertiga. Dia sering membantu ayahnya bekerja di sawah, bahkan tanpa disuruh ayahnya. Hidup mereka pas-pasan. Penghasilan dari bertani hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Merasa umurnya tidak lama lagi, petani tersebut berniat memberikan apa yang dia punya kepada 3 anaknya. Maka dia berikan seekor kerbau yang dipakai membajak sawah kepada Atmo. Kepada Kamto, dia berikan bajak yang dipakai membajak sawah dengan kerbau. Dan kepada Toto, dia berikan sekantung benih padi yang sudah siap untuk disemai.
Petani tersebut memberikan benda warisan tersebut dengan tujuan mereka bisa bersatu. Karena jika ketiga benda warisan itu bersatu, dan disertai dengan kerja keras, mereka bisa mencapai kesuksesan. Petani juga berpesan kepada anak-anaknya. Pesannya adalah “Petani dan sawah sejak matahari terbit, sampai terbenam”. Akhirnya, beberapa hari setelah itu, petani tersebut meninggal.
Namun, semua di luar perkiraan si petani. Anak-anaknya malah pergi dari rumah, tak menghiraukan nasehatnya. Si Sulung memutuskan untuk meninggalkan rumah dngan membawa kerbau pemberian ayahnya. Ia menjual kerbau itu kepada seorang peternak hewan di pasar. Ia merasa sangat senang setelah menjual kerbau tersebut karena ia mendapat banyak uang.
Sayangnya, ia sia-siakan uang itu untuk kegiatan yang tidak ada manfaatnya. Berjudi, mabuk-mabukan, dan kegiatan maksiat yang lain. Ia hanya bisa bermain dan berharap dia bisa menang dan mendapatkan banyak uang dari berjudi. Setiap hari, ia tak pernah berhenti berjudi, ia hanya bisa berharap kemenangan. Tak peduli pada kedua adiknya di rumah. Tak peduli bagaimana keadaan mereka. Tapi, ia lebih sering kalah daripada menang sehingga semakin lama, uangnya semakin habis. Dia sudah ketagihan berjudi, sehingga dia meminjam uang kepada teman-temannya untuk digunakan berjudi.
Akhirnya, Atmo putus asa. Dia sudah tak punya harapan dan tak punya semangat untuk menang. Dia bepergian tak tahu arah. Berkeliaran kesana kemari. Dia hanya ingin melarikan diri dari teman perjudiannya agar tida diajak berjudi lagi, tidak dipermalukan, dan para penagih hutang. Dia tak tahu apa yang harus dia lakukan. Dia sudah tak mampu membayar semua hutang-hutangnya. Dan dia hanya bisa menyesal atas semua yang telah dia lakukan sembari memelas meminta uluran tangan orang lain. Pengemis, itulah Si Sulung saat ini.
Nasib Kamto tak jauh beda dengan kakaknya. Diabaikannya pesan ayahnya dan dia pergi membawa bajaknya dan menjualnya ke toko pertanian. Ia merasa senang atas uang yang ia dapat, namun ia juga menyia-nyiakan uang itu untuk berjudi togel. Sama saja dengan kakaknya, ia tidak pernah menang. Hanya sesekali ia menang dan semakin lama uang itu semakin sedikit dan akhirnya habis.
Setelah uangnya habis, dia tak tahu apa yang harus dia lakukan. Ia juga tak berani pulang karena malu kepada adiknya. Sehingga ia hidup dengan bergantung pada uluran tangan orang lain. Dia hanya berjalan mengikuti jalan. Tanpa ada kemauan, hanya ingin bertahan hidup dari kerasnya dunia. Akhirnya, 2 bersaudara itu bertemu lagi, ia bertemu kakaknya yang sama-sama pengemis. Namun, mereka merasa kurang karena tidak adanya si Bungsu. Mereka berdua juga malu untuk pulang dan bertemu adiknya.
Lain halnya dengan si Bungsu, Toto. Tidak banyak yang bisa ia lakukan di rumah, hanya berdiam diri di rumah, memikirkan kedua kakaknya, memikirkan keadaan mereka berdua. Kadang dia bekerja membantu tetangganya berjualan sayur untuk makan sehari-hari.
Ia hidup sebatang kara, terpikir olehnya untuk pergi ke sawah, tempat dia biasa merenung dan menunggu ayahnya bekerja. Di pematang sawah, kakinya tersandung batu. Entah kenapa dia teringat pesan ayahnya dan mengerti arti dari pesan itu. Petani di sawah artina petani yang mengolah sawah dengan tenaganya. Sedangkan dari matahri terbit sampai terbenam artinya kerja petani yang terus menerus agar memperoleh hasil yang terbaik sampai pada saat panen.
Ia segera kembali ke rumah, karena ia mengerti, benda warisan itu dapat berguna dengan baik apabila ketiganya bersatu dan dikuatkan dengan kerja keras. Kerbau Atmo digunakan untuk membajak bersama dengan bajak yang dimiliki oleh Kamto. Mereka membajak tanah untuk padi yang akan ditanam oleh Toto.
Toto hanya memiliki sekantung padi. Namun, dia tidak menyerah, dia tetap berusaha. Esoknya, dia pergi ke sawah ayahnya. Sawah tersebut adalah warisan untuk mereka bertiga, begitu juga dengan rumah mereka. Toto menyemai padinya di sawah. Setelah itu, dia mencangkul sawahnya. Dia bekerja keras sendirian, tak kenl menyerah.
Dua minggu kemudian, padi-padi itu siap ditanam di sawah yang sudah ia cangkul. Setelah itu, ia tetap merawat sawahnya dengan rajin dan sabar, tanpa mengeluh, tanpa merasa susah. Dia juga berdo’a agar pada saat panen, dia diberikan hasil yang baik. Dan bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri dan dijual untuk mendapatkan uang demi kebutuhan yang lainnya.
Waktu yang ditunggu-tunggu pun tiba, panennya sukses. Toto mendapat hasil yang memuaskan. Syukur masih ada sisa uang untuk ditabung. Dia tetap melanjutkan usahanya untuk bertani. Lambat laun, dia mulai hidup berkecukupan. Karena usaha kerasnya, dia menjadi petani yang sukses dan menjadi seorang juragan padi di kampungnya. Sawahnya luas, dan dia punya rumah yang besar. Lumbungnya juga penuh dengan persediaan padi dan dia bisa memberian lapangan pekerjaan untuk orang lain.
Meskipun begitu, kekayaan tak merubah sifatnya. Ia selalu ingat masa lalunya yang sengsara dan sadar bahwa kesuksesan, kekayaan, dan semua yang dia miliki adalah pemberian dari Allah swt dan kapanpun bisa diambil oleh Allah swt. Dia tetap Toto yang dulu, orang yang baik hati dan ramah pada siapapun. Dia senantiasa berdo’a terutama untuk orang tuanya yang sudah meninggal serta kedua kakanya yang entah dia tak tahu dimana keberadaannya. Dia selalu ingin tahu bagaimana keadaan kakak-kakaknya dan berharap semoga dia baik-baik saja.
Suatu hari, ia pergi ke pasar membeli pupuk untuk persediaan pertanniannya. Dia pergi kesana dengan ditemani beberapa buruh tani. Sementara pekerja mengangkut pupuk ke truknya, dia berkeliling melihat-lihat produk pertanian lain, tiba-tiba datang 2 pengemis yang berjalan dengan menundukkan kepalanya.
Ketika mereka melihat si bungsu, mereka terlihat gelisah dan ingin segera meninggalkan toko itu. Toto mulai curiga dengan kedua peminta-minta itu. Dia mulai mendekati mereka perlahan-lahan. Kedua pengemis tersebut ingin segera meninggalkan tempat itu, tapi mereka malah menabrak Toto karena mereka tetap menundukkan kepala dan tidak melihat jalan di depan mereka. Mereka bertiga terjatuh hampir bersamaan.
Dengan cepat, Toto bangkit dan alangkah terkejutnya ia saat melihat wajah kedua pengemis tersebut. Mereka adalah kedua kakaknya. Kedua kakaknya menjadi pengemis dan hidup kesusahan saat dia hidup serba berkecukupan dan bahagia.
Dengan rasa haru, ia memeluk erat kedua kakaknya dan juga disambut pelukan oleh kedua kakaknya. Mereka segera berdiri dan kedua kakanya meminta maaf kepada Toto. Toto mengajak mereka pulang. Mereka bertiga menjadi saudagar kaya dan bersama-sama mengurus pertanian mereka. Ketiga saudara tersebut hidup dengan bahagia tapi mereka tetap tak pernah melupakan orang tua mereka. Mereka selalu berdo’a untuk kebahagiaan mereka dan kebahagiaan orang tua mereka.

1 komentar: