ý Pendahuluan
Materi
Cerpen merupakan salah satu bentuk karya
sastra yang berwujud prosa. Cerpen ada yang bersifat fiktif dan nonfiktif.
Cerita yang ditampilkan dalam sebuah cerpen biasanya hanya sepenggal peristiwa
yang terjadi pada seseorang dan fokus cerita terletak pada tokoh utama.
Pada umumnya, unsur intrinsik cerpen
meliputi hal-hal berikut ini.
1. Tema
adalah sumber gagasan atau ide cerita yang dikembangkan menjadi sebuah
karangan.
2. Alur
adalah urutan peristiwa sebab akibat yang menjalin suatu cerita.
3. Tokoh
adalah pelaku-pelaku dalam cerita. Tokoh dibedakan menjadi tiga, yakni
protagonist, antagonis, dan tritagonis.
4. Sudut
pandang adalah tempat atau titik dari mana seseorang melihat objek karangan.
5. Latar
adalah waktu dan tempat serta keadaan sosial yang digunakan pengarang dalam
menyusun cerita.
Selain itu, cerpen mengandung nilai-nilai kehidupan
yang dapat diambil dari peran masing-masing tokoh dalam isi cerpen tersebut.
Ada pun nilai-nilai tersebut antara lain:
1. Nilai
moral yaitu nilai yang berjkenaan dengan Tuhan dan agama
2. Nilai
kemanusiaan yaitu nilai yang berkenaan dengan masyarakat
3. Nilai
etika yaitu nilai yang berkenaan dengan budi bahasa, sopan santun.
4. Nilai
estitika yaitu nilai yang berkenaan dengan seni dan keindahan.
ý Menganalisis
Unsur-unsur Cerpen
ë Sinopsis
Cerpen
Pagi-pagi
sekali, Zul sudah terbangun dari tidur nyenyaknya. Dengan cekatan ia memasak
air di teko, menanak nasi, dan memanaskan sayur lodeh sisa semalam, lalu dia
mengerjakan sholat Subuh. Dzikirnya terhenti ketika dia mendengar bunyi “nyiiit”
yang menandakan air sudah mendidih. Dengan sigap ia mematian kompor dan
dituangkannya air dalam teko itu ke teko plastik yang sudah berisi bubuk teh.
Ia tunggu sekitar lima menit sebelum menuangkannya ke dalam tiga buah gelas
belimbing.
Kesibukannya
terhenti ketika Zul merasa telinganya mendengar sesuatu. Ia menajamkan
telinganya, berusaha memperjelas suara itu. Akhirnya dia paham suara yang dia
dengar barusan. Ia menghela nafas dan merasa kecewa terhadap bapaknya.
Ibu
Zul sedang di rumah neneknya karena sudah tidak tahan setiap hari disiksa
Bagio, panggilan akrab bapak Zul. Bapak Zul memang keterlaluan. Lebih
keterlaluan lagi dia sering membawa perempuan lain ke kamarnya. Anak muda itu
jadi sangat membenci bapaknya. Sebagai orang yang lebih tua, tidak pernah
memberikan panutan yang baik. Kali ini terdengar cekikikan dari kamar bapaknya.
Ia
segera pergi dan masuk ke kamar Asih, adiknya. Dia bangunkan adiknya yang masih
tertidur pulas itu dengan menggoyang-goyangkan kaki adiknya. Segera dia
perintahkan adiknya untuk mengambil wudhu dan sholat Subuh. Kemudian, segera
dia berikan beberapa lembar uang kepada Asih untuk bayar sekolah. Sudah
seminggu Asih dilarang bersekolah karena belum membayar uang SPP selama 3
bulan. Zul tentu tak ingin nasib adiknya sama seperti dia yang putus sekolah.
Sekilas
Zul yang sedang sarapan dengan adiknya berharap-harap cemas, jangan sampai
suara-suara ‘surga dunia’ itu terdengar oleh adiknya yang masih kecil. Tepat
saat Asih pergi pintu kamar bapak terbuka. Bapak keluar dengan memakai celana
pendek dan rambut yang masih awut-awutan. Disuruhnya Zul mengambilkannya rokok
dan dinyalakannya sebatang rokok itu. Baru saja Zul hendak melirik ke kamar
bapaknya, muncullah sosok yang ditunggu-tunggunya.
Seorang
wanita muda, berparas manis, keluar dari kamar bapaknya dengan baju tidur yang
acak-acakan. Astaghfirullah Hal Adzim, batin Zul berbisik. Zul langsung membereskan
piring bekas makan Asih dan segera pergi ke dapur.
Tiba-tiba
bapaknya memanggilnya. Zul segera menghampiri bapaknya. Bapaknya hanya mengeluh
atas makanan yang ada, tidak menyadari apa yang telah dia lakukan. Zul coba
membantah, namun sebuah tamparan mendarat di pipinya.
Sebelum
pergi, ia berteriak di depan kamar bapaknya bahwa ia tidak ingin wanita itu ada
saat Asih sudah pulang. Zul bekerja kepada Pak Atmo sebagai kernet angkot,
kadang-kadang ia juga menjadi sopir. Selain itu, Zul juga membantu Abah Liem
mengantarkan beras di pasar.
Sebenarnya
Pak Atmo merasa kasihan pada Zul. Pak Atmo menngompres pipi Zul. Setelah agak
baikan, Zul mulai bekerja. Zul adalah
anak yang sangat baik. Pak Atmo berharap punya anak sebaik Zul.
----
Muslih
yang sedang bekerja jadi tukang parkir berteriak pada Zul bahwa rumah Zul
kebanjiran. Muslih segera menghampiri angkot Zul yang berhenti di dekat mini
market dan menitipkan salam untuk adiknya yang bekerja di bengkel dan memberi
tahu bahwa ia tidak bisa pulang.
Zul
teringat ibunya yang sakit dan Asih yang masih di sekolah. Untung di angkot
Cuma tinggal dua penumpang. Ia segera mengantarkan penumpangnya dan bergegas
pulang. Zul terpaksa meninggalkan angkotnya di pinggir jalan karena macet.
Banjir sudah setinggi betisnya. Zul bertanya kepada para tetangga, namun mereka
sibuk menyelamatkan diri dan harta benda mereka.
Zul
semakin panik, ia berjuang melewati kayu-kayu yang hanyut berserakan di jalan setapak menuju rumahnya. Darah mulai
mengalir dari tubuhnya. Pintu rumah sudah jebol terhantam air. Ibu menggigil
kedinginan di atas meja makan dengan pakaian yang sudah basah. Ia segera
membopong ibunya tanpa memperdulikan barang-barang yang lain.
Sesampainya
di pengungsian, Zul membaringkan tubuh ibunya di atas sebuah tikar. Untunglah
ada Yu Narsih yang memberikan kaos kering dan selimut untuk ibu.
Tetangga-tetangga Zul mulai mengeluh dan mengolok-olok pemerintah, tapi Zul
tetap tak mendengarkan. Ia bergegas ke sekolah untuk menjemput Asih. Untunglah
Asih sudah pulang bersama Pak Paijo, penjaga sekolah sekaligus tetangga Zul.
Hari
sudah sore, bantuan belum juga datang. Keadaan pengungsi semakin
memprihatinkan. Bantuan datang, Zul langsung berlari menuju mobil box yang
mengirimkan bantuan. Tapi hanya ada mi instan dan beras. Tak ada alat untuk
memasak. Tiba-tiba datang lagi sebuah mobil box, kali ini berisi nasi bungkus.
Mi instan yang ada di tangannya langsung dilempar untuk mendapatkan 3 buah nasi
bungkus dan air mineral di tengah kerumunan warga yang juga berusaha
mendapatkan bantuan.
Sesegera
mungkin Zul kembali ke Asih dan ibunya. Tiba-tiba terdengar teriakan dari Asih.
Rupanya, Bapak telah datang. Ia masih menagih uang yang diberikan Zul kepada
ibu. Zul marah sekali melihatnya. Ditariknya baju bapaknya. Saat Zul melihat
mata bapaknya, ia tahu bahwa bapak mabuk. Bapak tidak peduli pada Zul dan tetap
menagih uang pada ibu. Zul membentak bapaknya dengan keras tapi sebuah pukulan
melayang ke pipi kirinya.
Perasaan
Zul betul-betul kacau karena panik. Ia tak bisa berfikir dengan jernih. Ketika
matanya memandang sebuah batu yang cukup besar di samping nisan diambilnya batu
itu dan dipukulkan berkali-kali ke punggung bapaknya. Yang ada dalam pikirannya
hanya satu, yaitu menyelamatkan ibunya. Bapak terkapar berlumuran darah. Hujan
kembali mengguyur. Menghanyutkan sebagian darah bapak dan air mata Zul.
----
Dengan
dikawal dua orang polisi, Pak Atmo dan Zul berjalan melewati lorong rumah sakit
menuju ruang ICU. Zul melihat ibu dan Asih duduk di ruang tunggu ICU. Zul
segera menghampiri ibunya dan berlutut di hadapannya. Syukurlah, Bapak Zul
masih hidup dan dokter menawarkan kepada Zul untuk menengok bapaknya. Bapak
terbaring telungkup karena luka di punggungnya belum kering. Zul hanya bisa
memandangi bapaknya tanpa berkata apapun. Kemudian digenggamnya tangan
bapaknya.
Tiba-tiba
dirasakannya sedikit gerakan pada tangan bapak. Zul memanggil-manggil bapaknya.
Tak disangka, mata bapak terbuka perlahan-lahan. Dokter Harjo masih merasa
terkejut bapak bisa sadar dari komanya dan sanggup berbicara. Bapak memandangi
Zul dengan tenang dan tanpa ada rasa dendam di wajah bapak. Baru kali ini dia
melihat wajah bapak yang tenang tanpa emosi. Mata bapak kembali terpejam
setelah memberikan seulas senyuman pada Zul.
Zul
menangis tersedu-sedu. Tubuhnya lemas, sampai-sampai dia harus dipapah dokter
Harjo untuk keluar dari ruang ICU. Zul terduduk lemas di kursi. Zul tak
menyangka ia telah membunuh bapaknya sendiri. Polisi kembali memborgol
tangannya. Zul hanya bisa pasrah. Tapi ia yakin, bapaknya sudah memaafkannya.
Dengan
langkah lunglai, Zulkifli atau biasa dipanggil Zul meninggalkan rumah sakit
dengan dikawal dua polisi. Menuju jeruji besi yang telah menantinya. Tak
henti-hentinya Zul berdo’a agar Allah mau mengampuninya dan menerima taubatnya.
ë Tema : Penyesalan
Bukti :
Zu menyesal telah membunuh bapaknya sebdiri sehingga ia harus mempertanggung
jawabkan perbuatannya walaupun niatnya baik yaitu melindungi ibunya.
ë Judul : Jeruji Penebus Dosa
ë Penokohan :
ÿ
Zul : Penyayang, pekerja keras, sabar
Bukti :
Penyayang: Sangat
menyayangi adik dan ibunya. Bahkan ketika banjir datang, ia langsung
menyelamatkan ibunya.
Pekerja
keras: Ia bekerja untuk memenuhi
kebutuhan keluarga, serta membiayai sekolah adinya tanpa mengeluh
Sabar: Zul tetap sabar menghadapi
bapaknya yang sering menyiksa ibunya.
ÿ
Bapak/Bagio : Kasar, pemalas, egois,
Bukti :
Kasar: Bagio menampar dan memukul
anaknya sendiri dan menyiksa istrinya.
Pemalas: Tidak mau bekerja, hanya
berjudi, menagih uang, dan mau makan enak.
Egois: Tetap menagih uang walaupun
dalam keadaan susah pada saat banjir.
ÿ
Asih : Rajin, terima apa adanya
Bukti :
Rajin: Rajin bersekolah walaupun dalam
keadaan yang pas-pasan. Tidak bermalas-malasan
Terima
apa adanya: Bersekolah tanpa mengeluh,
maupun ketika makan, tidak mengeluh.
ÿ
Pak
Atmo : Peduli, dermawan
Bukti :
Peduli: Pak Atmo peduli dengan Zul yang
ingin bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Sehingga memberi Zul pekerjaan
sebagai sopir angkot.
Dermawan: Memberi uang pada Zul untuk biaya sekolah Asih.
ÿ
Muslih : Peduli, patuh
Bukti : Peduli: Memberi tahu Zul bahwa rumahnya
kebanjiran.
Patuh: Mematuhi aturan dan perintah
dari atasan dalam bekerja.
ÿ
Ibu : Lembut, lemah
Bukti :
Lembut: Tidak pernah membentak Zul,
Asih, maupun Bapak.
Lemah: Tidak punya kekuatan melawan baak, sehingga selalu disiksa.
ÿ
Yu
Narsih : Dermawan
Bukti : Memberi selimut dan pakaian kepada ibu Zul
dengan ikhlas.
ë Latar :
: Tempat :
ÿ Kamar Zul à
Zul terbangun dari tidur nyenyaknya.
ÿ Dapur à
Zul memasak air di teko, menanak nasi, dan memanaskan sayur lodeh sisa semalam.
ÿ Di dekat kamar
bapak à Zul mendengar sesuatu dari kamar
bapaknya.
ÿ Kamar Asih à
Zul segera ke kamar Asih untuk membangunkan Asih.
ÿ Meja makan à
Zu sedang sarapan bersama adiknya.
ÿ Di depan kamar
bapak à Sebelum Zul pergi, ia berteriak
di depan kamar bapaknya.
ÿ Di dekat mini
market à
Muslih menghampiri angkot Zul yang berhenti di dekat mini market
ÿ Di pinggir jalan à
Zul meninggalkan angkotnya di pinggir jalan karena macet.
ÿ Di atas meja
makan à Ibu
menggigil kedinginan di atas meja makan dengan pakaian yang sudah basah.
ÿ Mobil box à
Zul langsung berlari menuju mobil box yang mengirimkan bantuan.
ÿ Lorong rumah
sakit à Pak Atmo dan Zul berjalan
melewati lorong rumah sakit menuju ruang ICU.
: Waktu :
ÿ Pagi hari : Pagi-pagi sekali, Zul sudah terbangun dari
tidur nyenyaknya.
ÿ Ketika Zul
mendengar sesuatu dari kamar bapaknya à Kesibukan-nya
terhenti ketika Zul merasa telinganya mendengar sesuatu dari kamar bapaknya.
ÿ Saat Asih pergi à
Tepat saat Asih pergi pintu kamar bapak terbuka.
ÿ Sebelum Zul
pergi à Sebelum Zul pergi, ia berteriak
di depan kamar bapaknya bahwa ia tidak ingin wanita itu ada saat Asih sudah
pulang.
ÿ
Sore
hari à
Hari sudah sore, bantuan belum juga datang. Keadaan
pengungsi semakin memprihatinkan.
: Suasana :
ÿ Penasaran à
Kesibukannya terhenti ketika Zul merasa telinganya mendengar sesuatu. Ia
menajamkan telinganya, berusaha memperjelas suara itu.
ÿ Cemas à
Sekilas Zul yang sedang sarapan dengan adiknya berharap-harap cemas, jangan
sampai suara-suara ‘surga dunia’ itu terdengar oleh adiknya yang masih kecil.
ÿ Tegang à
Bapaknya hanya mengeluh atas makanan yang ada, tidak menyadari apa yang telah
dia lakukan. Zul coba membantah, namun sebuah tamparan mendarat di pipinya.
ÿ Kasihan à
Sebenarnya Pak Atmo merasa kasihan pada Zul.
ÿ Terkejut à
Muslih yang sedang bekerja jadi tukang parkir berteriak pada Zul bahwa rumah
Zul kebanjiran.
ÿ Khawatir à
Zul teringat ibunya yang sakit dan Asih yang masih di sekolah.
ÿ Panik à
Zul semakin panik, ia berjuang melewati kayu-kayu yang hanyut berserakan di jalan setapak menuju rumahnya.
ÿ Lega à
Untunglah Asih sudah pulang bersama Pak Paijo, penjaga sekolah sekaligus
tetangga Zul.
ÿ Takut à
Ditariknya baju bapaknya. Saat Zul melihat mata bapaknya, ia tahu bahwa bapak
mabuk. Bapak tidak peduli pada Zul dan tetap menagih uang pada ibu.
ÿ Bingung dan
panik à Perasaan Zul betul-betul kacau
karena panik. Ia tak bisa berfikir dengan jernih. Ketika matanya memandang
sebuah batu yang cukup besar di samping nisan diambilnya batu itu dan
dipukulkan berkali-kali ke punggung bapaknya.
ÿ Menyesal à
Zul hanya bisa memandangi bapaknya tanpa berkata apapun.
ë Alur :
: Kerangka alur :
Eksposisi :
Zul adalah anak yang baik. Dia punya adik bernama Asih yang masih sekolah di
SD. Namun, bapaknya adalah tukang judi dan tukang main wanita.
Konflik :
Rumah Zul terkena banjir. Ia segera pulang untuk menyelamatkan ibunya dari
banjir dan membawanya ke pengungsian.
Klimaks :
Bapak datang ke pengungsian untuk menagih uang kepada ibu.
Peleraian :
Zul mengambil batu dan dipukulkannya ke punggung bapaknya sampai bapaknya
terkapar berlumuran darah.
Penyelesaian :
Bapak Zul meninggal tapi beliau sudah memaafkan Zul. Dan Zul harus
mempertanggung jawabkan perbuatannya.
: Alur sebenarnya :
Bukti:
Zul adalah anak yang baik, dia punya
adik bernama Asih yang masih sekoah di SD. Namun, bapaknya adalah tukang judi
dan tukang main wanita. Sehingga, Zul harus memenuhi kebutuhan keluarganya
dengan bekerja keras.
Ketika
sedang bekerja, Zul diberitahu temannya bahwa rumahnya terkena banjit. Ia
segera pulang dan menerjang banjir untuk menyelamatkan ibunya yang masih
terjebak di dalam rumah. Kemudian Zul membawanya ke pengungsian.
Bapak
datang ke pengungsian untuk menagih uang yang diberikan Zul kepada ibu. Bapak
tidak memperdulikan keadaan disekitarnya. Walupun ibu sedang kedinginan, bapak
tetap menagih uang dengan kasar kepada ibu.
Zul
tak bisa menahan diri, pikirannya bingung dan panik. Zul mengambil batu dan
dipukulkannya ke punggung bapaknya yang sedang menagih uang tersebut hingga
punggung bapaknya berlumuran darah.
Bapak
Zul dibawa ke rumah sakit. Saat Zul menjenguk bapaknya, beliau meninggal tapi
Zul sudah dimaafkan oleh bapaknya. Akhirnya, Zul harus mempertanggung jawabkan
perbuatannya.
ë Sudut
pandang
Orang
ketiga pelaku utama
Bukti : Pengarang menceritakan kehidupan orang
lain.
ë Amanat :
: Jangan buru-buru
dalam mengambil keputusan.
: Berilah contoh
yang baik kepada anak-anak.
: Tetap tenang dan
pikirkanlah baik-baik masalah yang kamu hadapi.
ë Nilai-nilai
kehidupan
: Nilai moral :
Berilah
contoh yang baik kepada anak-anak jangan perlihatkan hal yang tidak baik untuk
mereka.
: Nilai pendidikan :
Rajinlah
belajar walaupun dalam keadaan susah, pelajarilah apa yang bisa kamu pelajari.
: Nilai religi :
Jauhilah
hal-hal yang dilaraang oleh Allah swt, karena yang dilarang itu tidak baik
untuk kita.
ë Nilai-nilai
kehidupan yang dapat diteladani
: Berusahalah
untuk memenuhi kebutuhanmu dan keluargamu, dan jangan mudah menyerah.
: Berbagilah
kepada orang yang membutuhkan.
: Berbaktilah
kepada kedua orang tua walaupun mereka tidak bisa memberi kita hal-hal yang
baik.
ý Membuat
Cerpen
ë Kerangka
cerpen
1. Di suatu desa
tinggallah seorang petani dengan 3 anak laki-lakinya.
2. Petani tersebut
merasa umurnya tidak panjang lagi.
3. Petani tersebut
berpesan kepada anaknya.
4. Si Sulung/Atmo
meninggalkan rumah dengan membawa kerbaunya.
5. Setiap hari Atmo
berjudi tapi tidak pernah menang.
6. Atmo putus asa
dan pergi tanpa arah.
7. Kamto, si anak
kedua juga bernasib sama dengan Atmo.
8. Kamto tak berani
pulang karena malu pada adiknya.
9. Si Bungsu/Toto
hanya berdiam diri di rumah.
10. Toto pergi ke
sawah dan tiba-tiba dia mengerti maksud pesan ayahnya.
11. Toto mengerti
bahwa benda-benda warisan itu memiliki peran yang sangat penting.
12. Toto mulai
bekerja mengolah sawahnya.
13. Toto merawat
padinya dengan rajin dan sabar.
14. Waktu panen
telah tiba.
15. Toto masih tetap
berdo’a untuk kedua kaknya danuntuk ayahnya.
16. Toto pergi ke
pasar dan bertemu 2 pengemis.
17. Mereka bertiga
bertabakan dan terjatuh.
18. Pengemis itu
adalah kedua kakaknya.
19. Toto mengajak
mereka pulang dan hidup bahagia.
ë Cerpen
Tiga Saudara dan Warisan
Di suatu desa
yang damai, tinggallah seorang petani tua bersama 3 anak laki-lakinya. Mereka
adalah Atmo, Si Sulung. Anak kedua bernama Kamto, dan Si Bungsu bernama Toto.
Walaupun mereka bersaudara, tapi Si Bungsu lah yang paling disayang oleh ayahnya
karena dia memiliki sifat yang paling baik diantara mereka bertiga. Dia sering
membantu ayahnya bekerja di sawah, bahkan tanpa disuruh ayahnya. Hidup mereka
pas-pasan. Penghasilan dari bertani hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari.
Merasa umurnya
tidak lama lagi, petani tersebut berniat memberikan apa yang dia punya kepada 3
anaknya. Maka dia berikan seekor kerbau yang dipakai membajak sawah kepada
Atmo. Kepada Kamto, dia berikan bajak yang dipakai membajak sawah dengan
kerbau. Dan kepada Toto, dia berikan sekantung benih padi yang sudah siap untuk
disemai.
Petani tersebut
memberikan benda warisan tersebut dengan tujuan mereka bisa bersatu. Karena
jika ketiga benda warisan itu bersatu, dan disertai dengan kerja keras, mereka
bisa mencapai kesuksesan. Petani juga berpesan kepada anak-anaknya. Pesannya
adalah “Petani dan sawah sejak matahari terbit, sampai terbenam”. Akhirnya,
beberapa hari setelah itu, petani tersebut meninggal.
Namun, semua di
luar perkiraan si petani. Anak-anaknya malah pergi dari rumah, tak menghiraukan
nasehatnya. Si Sulung memutuskan untuk meninggalkan rumah dngan membawa kerbau
pemberian ayahnya. Ia menjual kerbau itu kepada seorang peternak hewan di
pasar. Ia merasa sangat senang setelah menjual kerbau tersebut karena ia
mendapat banyak uang.
Sayangnya, ia
sia-siakan uang itu untuk kegiatan yang tidak ada manfaatnya. Berjudi,
mabuk-mabukan, dan kegiatan maksiat yang lain. Ia hanya bisa bermain dan
berharap dia bisa menang dan mendapatkan banyak uang dari berjudi. Setiap hari,
ia tak pernah berhenti berjudi, ia hanya bisa berharap kemenangan. Tak peduli
pada kedua adiknya di rumah. Tak peduli bagaimana keadaan mereka. Tapi, ia
lebih sering kalah daripada menang sehingga semakin lama, uangnya semakin
habis. Dia sudah ketagihan berjudi, sehingga dia meminjam uang kepada
teman-temannya untuk digunakan berjudi.
Akhirnya, Atmo
putus asa. Dia sudah tak punya harapan dan tak punya semangat untuk menang. Dia
bepergian tak tahu arah. Berkeliaran kesana kemari. Dia hanya ingin melarikan
diri dari teman perjudiannya agar tida diajak berjudi lagi, tidak dipermalukan,
dan para penagih hutang. Dia tak tahu apa yang harus dia lakukan. Dia sudah tak
mampu membayar semua hutang-hutangnya. Dan dia hanya bisa menyesal atas semua
yang telah dia lakukan sembari memelas meminta uluran tangan orang lain.
Pengemis, itulah Si Sulung saat ini.
Nasib Kamto tak
jauh beda dengan kakaknya. Diabaikannya pesan ayahnya dan dia pergi membawa
bajaknya dan menjualnya ke toko pertanian. Ia merasa senang atas uang yang ia
dapat, namun ia juga menyia-nyiakan uang itu untuk berjudi togel. Sama saja
dengan kakaknya, ia tidak pernah menang. Hanya sesekali ia menang dan semakin
lama uang itu semakin sedikit dan akhirnya habis.
Setelah uangnya
habis, dia tak tahu apa yang harus dia lakukan. Ia juga tak berani pulang
karena malu kepada adiknya. Sehingga ia hidup dengan bergantung pada uluran
tangan orang lain. Dia hanya berjalan mengikuti jalan. Tanpa ada kemauan, hanya
ingin bertahan hidup dari kerasnya dunia. Akhirnya, 2 bersaudara itu bertemu
lagi, ia bertemu kakaknya yang sama-sama pengemis. Namun, mereka merasa kurang
karena tidak adanya si Bungsu. Mereka berdua juga malu untuk pulang dan bertemu
adiknya.
Lain halnya
dengan si Bungsu, Toto. Tidak banyak yang bisa ia lakukan di rumah, hanya
berdiam diri di rumah, memikirkan kedua kakaknya, memikirkan keadaan mereka
berdua. Kadang dia bekerja membantu tetangganya berjualan sayur untuk makan
sehari-hari.
Ia hidup
sebatang kara, terpikir olehnya untuk pergi ke sawah, tempat dia biasa merenung
dan menunggu ayahnya bekerja. Di pematang sawah, kakinya tersandung batu. Entah
kenapa dia teringat pesan ayahnya dan mengerti arti dari pesan itu. Petani di
sawah artina petani yang mengolah sawah dengan tenaganya. Sedangkan dari
matahri terbit sampai terbenam artinya kerja petani yang terus menerus agar
memperoleh hasil yang terbaik sampai pada saat panen.
Ia segera
kembali ke rumah, karena ia mengerti, benda warisan itu dapat berguna dengan
baik apabila ketiganya bersatu dan dikuatkan dengan kerja keras. Kerbau Atmo
digunakan untuk membajak bersama dengan bajak yang dimiliki oleh Kamto. Mereka
membajak tanah untuk padi yang akan ditanam oleh Toto.
Toto hanya
memiliki sekantung padi. Namun, dia tidak menyerah, dia tetap berusaha.
Esoknya, dia pergi ke sawah ayahnya. Sawah tersebut adalah warisan untuk mereka
bertiga, begitu juga dengan rumah mereka. Toto menyemai padinya di sawah.
Setelah itu, dia mencangkul sawahnya. Dia bekerja keras sendirian, tak kenl
menyerah.
Dua minggu
kemudian, padi-padi itu siap ditanam di sawah yang sudah ia cangkul. Setelah
itu, ia tetap merawat sawahnya dengan rajin dan sabar, tanpa mengeluh, tanpa
merasa susah. Dia juga berdo’a agar pada saat panen, dia diberikan hasil yang
baik. Dan bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri dan dijual
untuk mendapatkan uang demi kebutuhan yang lainnya.
Waktu yang ditunggu-tunggu
pun tiba, panennya sukses. Toto mendapat hasil yang memuaskan. Syukur masih ada
sisa uang untuk ditabung. Dia tetap melanjutkan usahanya untuk bertani. Lambat
laun, dia mulai hidup berkecukupan. Karena usaha kerasnya, dia menjadi petani yang
sukses dan menjadi seorang juragan padi di kampungnya. Sawahnya luas, dan dia
punya rumah yang besar. Lumbungnya juga penuh dengan persediaan padi dan dia
bisa memberian lapangan pekerjaan untuk orang lain.
Meskipun begitu,
kekayaan tak merubah sifatnya. Ia selalu ingat masa lalunya yang sengsara dan
sadar bahwa kesuksesan, kekayaan, dan semua yang dia miliki adalah pemberian
dari Allah swt dan kapanpun bisa diambil oleh Allah swt. Dia tetap Toto yang
dulu, orang yang baik hati dan ramah pada siapapun. Dia senantiasa berdo’a
terutama untuk orang tuanya yang sudah meninggal serta kedua kakanya yang entah
dia tak tahu dimana keberadaannya. Dia selalu ingin tahu bagaimana keadaan
kakak-kakaknya dan berharap semoga dia baik-baik saja.
Suatu hari, ia
pergi ke pasar membeli pupuk untuk persediaan pertanniannya. Dia pergi kesana
dengan ditemani beberapa buruh tani. Sementara pekerja mengangkut pupuk ke
truknya, dia berkeliling melihat-lihat produk pertanian lain, tiba-tiba datang
2 pengemis yang berjalan dengan menundukkan kepalanya.
Ketika mereka
melihat si bungsu, mereka terlihat gelisah dan ingin segera meninggalkan toko
itu. Toto mulai curiga dengan kedua peminta-minta itu. Dia mulai mendekati
mereka perlahan-lahan. Kedua pengemis tersebut ingin segera meninggalkan tempat
itu, tapi mereka malah menabrak Toto karena mereka tetap menundukkan kepala dan
tidak melihat jalan di depan mereka. Mereka bertiga terjatuh hampir bersamaan.
Dengan cepat,
Toto bangkit dan alangkah terkejutnya ia saat melihat wajah kedua pengemis
tersebut. Mereka adalah kedua kakaknya. Kedua kakaknya menjadi pengemis dan
hidup kesusahan saat dia hidup serba berkecukupan dan bahagia.
Dengan rasa haru,
ia memeluk erat kedua kakaknya dan juga disambut pelukan oleh kedua kakaknya.
Mereka segera berdiri dan kedua kakanya meminta maaf kepada Toto. Toto mengajak
mereka pulang. Mereka bertiga menjadi saudagar kaya dan bersama-sama mengurus
pertanian mereka. Ketiga saudara tersebut hidup dengan bahagia tapi mereka
tetap tak pernah melupakan orang tua mereka. Mereka selalu berdo’a untuk
kebahagiaan mereka dan kebahagiaan orang tua mereka.
Cerpenya bikin sedih ,tapi terimakasih ya bisa Membantu
BalasHapus